Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr Amirsyah Tambunan MA tampil sebagai nara sumber dalam acara refleksi Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke-57 yang diadakan PK IMM se-UMSU di aula kampus utama UMSU, Jalan Kapten Mukhtar Basri, Medan, Senin (22/3).
.
Dalam kuliah umumnya ia mengupas persoalan “Moderasi Beragama untuk Indonesia Berkemajuan”.
Dalam prolog paparannya, Amirsyah Tambunan menuturkan, bahwa tema yang diangkat dalam Milad ke-57, yakni “Revitalisasi Ikatan dengan Semangat Membumikan Gagasan Membangun Peradaban Mengenang Perjuangan 57″ merupakan tema yangi sangat berat dan tidak mudah, karena harus mengingat kembali jejak langkah perjuangan para pendahulu yang banyak berjasa membesarkan IMM di masa lampau.
.
“Kita perlu mengingat jasa-jasa mereka. Jejak perjuangan mereka patut dijadikan penyemangat bagi kita dalam rangka memperkuat trilogi gerakan IMM, yakni bidang keagamaan, intelektual dan kemanusian. Kita harus menarik benang merah dan kemudian dijadikan satu dalam pemikiran sekaligus aksi. Antara pemikiran dan aksi itu tidak bisa dipisahkan. Karena biasanya sebuah aksi lahir karena adanya sebuah pemikiran,” ujar Amirsyah Tambunan yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PC IMM Kota Medan pada tahun 80-an ini.
Terkait moderasi beragama, Amirsyah Tambunan memandang pentingnya membentuk sikap untuk dijadikan salah satu tolak ukur untuk Indonesia yang berkemajuan.
Dijelaskannya, ada 2 istilah yang popular dan sering dikemukakan pemuka agama, yakni ifrat atau sikap berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrif yakni sikap yang meremeh-remehkan terhadap perkara beragama. Didalam konteks akademik, kedua ini dikenal dengan istilah ektrim kanan dan ekstrim kiri. Kalau ektrim kiri disebut komunis dan sosialis, sementara ektrim kanan adalah mereka yang mempunyai pemahaman bahwa agama merekalah yang paling benar, sehingga agama lain dipermasalahkan.